Selasa, 27 Mei 2014

Kekeliruan di Malam Nishfu Sya’ban




Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di bulan Sya’ban ini kita dapat melihat bahwa kaum muslimin sangat antusias dengan hari atau malam nishfu sya’ban (15 Sya’ban). Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Apakah ada tuntunan puasa, shalat atau do’a ketika itu? Semoga tulisan ini bisa menjawabnya.

Malam Nishfu Sya’ban, Malam Diturunkannya Al Qur’an
Di antara kaum muslimin ada yang menganggap bahwa malam Nishfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah malam yang istimewa. Di antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah tatkala beliau menjelaskan maksud firman Allah,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.(QS. Ad Dukhan: 3-4)
Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar, menurut mayoritas ulama. Sedangkan ‘Ikrimah –semoga Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul Maysir, 5/346)
Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun pada malam nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an.” (QS. Al Baqarah:185). Dan dijelaskan pula dengan firman Allah,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada Lailatul Qadr.” (QS. Al Qadr:1)
Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah (pada surat Ad Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban –sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan lagi bahwasanya itu adalah klaim yang jelas keliru yang menyelisihi dalil tegas dari Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa saja yang menyelisihi al haq (kebenaran) itulah kebatilan. Sedangkan berbagai hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan malam tersebut adalah malam nishfu Sya’ban, itu jelas-jelas telah menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas dan hadits tersebut sungguh tidak berdasar. Begitu pula sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits lainnya. Sungguh sangat mengherankan, ada seorang muslim yang menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas, padahal dia sendiri tidak memiliki sandaran dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul Bayan, 1552)

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a
Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).
Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut.
Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20).
Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)
Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam nishfu sya’ban dan  menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)
Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)
Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ

Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144)
Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini  menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam nishfu sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan malam nishfu sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini.

Apakah shalat Alfiyah adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam nishfu sya’ban?
Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada malam nishfu sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam nishfu sya’ban dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika dating tahun berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam nishfu sya’ban. Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)
Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.
Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com

Jumat, 04 April 2014

Barzanji, Kitab Induk Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Seputar Kitab Barzanji
Secara umum peringatan maulud Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah.
Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian ditutup dengan Qasîdah Burdah.
Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran.
Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah daripada kitab Barzanji.
Berikut uraiannya :
Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :
  1. Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sastra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
  2. Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
  3. Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penulis Kitab Barzanji
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]
Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.[2]
Kesalahan Umum Kitab Barzanji
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan, dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
: مَن قَرَأَ حَرفًا مِن كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاأَقُوْلُ الـمّ حَرْفٌ وَلكِن ْأَلَِفٌ حَرْفٌ وَلاًّمُ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرفٌ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ اْلأَلْباَنِيْ
Artinya : Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîmssatu huruf. Akan tetapi, Alifd satu huruf, lâmd satu huruf mîmd satu huruf.[3]
Kesalahan Khusus Kitab Barzanji
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:
Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
وَقَدْ أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِيْمَانِ وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ شَوَاهِدُ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ
Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]
Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di manakah ayahku (setelah mati)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.” Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.[5]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan yang lainnya.”[6]
Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.[7]
Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beriman dan selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti hadîts.[8]
Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا
Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.
Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.
يَا نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.
Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?[9]
Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam disamakan dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah. Pengagungan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.
Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.
Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para sahabat Radhiyallahu ‘anhum -semoga Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ûd kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku….demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka”.[10]
 Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.
Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan hadîts Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,’Berdirilah kalian untuk tuan atau orang yang paling baik di antara kalian [11], maka alasan ini tidak tepat.
Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang mempunyai keutamaan[12]. Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar Radhiyallahu ‘anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu ‘anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah, bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara berlebihan[13].
Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
فِيْكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ ياَ بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ
Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik.
Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”.[14]
Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.[16]
Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.[17]
Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.
Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para pengagum kitab Barzanji menganggap bahwa membaca shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. [al-Ahzâb/ 33:56]
Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan akhirat, yaitu:
  1. Terkena doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.[18]
  2. Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
  3. Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi n dan keluarganya. Nabi n bersabda: “Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
  4. Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
    Allah Azza wa Jalla berfirman:”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” [Al-Ahzâb/ 33:43]
Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Ar-Ra’du/ 13:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.
Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:
وَماَ زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ أَرْدَانٍ
Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.
Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.
Demikian juga perkataan Ibnu Arabi Atthâ’i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”.[2]
Perlu kita ketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam , seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.
Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga bermanfaat.[23]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan Oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ’ : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ’ : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah k memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.
 (nahimunkar.com)

SEJARAH MAULID NABI –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-


  • Asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
  • Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan:
  • Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?”
Orang yang memperhatikan sejarah Nabi saw, serta sejarah para sahabat dan para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah tahun 350 H, tidak akan mendapatkan seorangpun dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam al-Hafizh as-Sakhawi al-Syafi’i dalam fatawanya berkata: “Perayaan maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salaf shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal itu terjadi setelah itu.” (Mengutip dari Subulul Huda war-Rasyad (1/439), karya al-Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir.)
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah: Sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau oleh para khulafa` ahlus sunnah yang dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang menyimpang dan memusuhi sunnah? (Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh) (www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm)
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, diantaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui seorangpun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan as-Sandubi.
Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.” Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah merayakan berbagai macam maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah al-Muiz lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada tahun 488 H karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata:
Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan:
“Adalah para khalifah Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu: Hari Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as, Maulid Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa), Malam Awal Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal) Ramadhan, Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari Raya Kelahiran, Hari Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum Paskah), dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.” Di tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H)
Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.” Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya al-Hanini penulis al-Maulid an-Nabawi menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya. Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap ahlul bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari maulid Isa (natal), yang kesemuanya adalah hari raya Kristen. Ibnul Turkmani dalam kitabnya al-Luma’ fil Hawadits wal Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia berkata,
Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.”
Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/ maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka.
Kemudia ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan al-Quran dan Sunnah melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyiin.
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M ) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz,  Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan: Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.” Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang menjadi panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri) dan ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.” (Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H.
Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara maulid maka para ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal maulid. Di antara mereka adalah al-Fakih al-Maliki Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami al-Iskandari yang dikenal dengan sebutan al-Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam risalah al-Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852), as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami (909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara maulid. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya:
 “Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya al-Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi saw adalah nikmat Allah yang besar.
Saya katakan:
Betul, mengingatkan nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi saw melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau idul milad atau mauludan.
Penutup
Pembaca yang mulia, setelah kita mengetahui asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi:
Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?” [*]
Malang, 23 Muharram 1430H/ 20-1-09
(Oleh Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag).
sumber : www.qiblati.com
Maraji :
1.      Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuhuh, Atsaruh)www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm,www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_mawleed.html
2.      Athiyah Shaqr, Fatawa al-Azhar (Maktabah Syaamilah 2)
3.      Jalaluddin as-Suyuthi, Husnul Maqshad fi Amalil Maulid, dalam kitab al-Hawi lilfatwa, Darul Fikr,1414,1/221-231.
4.      Samir ibn Khalil al-Maliki, Mukhtasar fi Hukmil A’yad al-Muhdatsah,www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_awal.html)
6.      Shalih Suhaimi, al-Bida’ wa atsaruha fi inhiraf at-Tashawwur al-Islami,www.iu.edu.sa/Magazine/50-51/7.doc
Diambil dari bulletin Qiblati (Vol.1 No. 3 Th 1430 H Maret 2009)
  • Asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
  • Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan:
  • Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?”
kaligrafi-nabi-muhammad-saw_823642384
Ilustrasi: kajiansunnah.net
Orang yang memperhatikan sejarah Nabi saw, serta sejarah para sahabat dan para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah tahun 350 H, tidak akan mendapatkan seorangpun dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam al-Hafizh as-Sakhawi al-Syafi’i dalam fatawanya berkata: “Perayaan maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salaf shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal itu terjadi setelah itu.” (Mengutip dari Subulul Huda war-Rasyad (1/439), karya al-Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir.)
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah: Sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau oleh para khulafa` ahlus sunnah yang dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang menyimpang dan memusuhi sunnah? (Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh) (www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm)
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, diantaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui seorangpun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan as-Sandubi.
Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.” Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah merayakan berbagai macam maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah al-Muiz lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada tahun 488 H karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata:
Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan:
“Adalah para khalifah Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu: Hari Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as, Maulid Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa), Malam Awal Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal) Ramadhan, Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari Raya Kelahiran, Hari Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum Paskah), dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.” Di tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H)
Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.” Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya al-Hanini penulis al-Maulid an-Nabawi menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya. Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap ahlul bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari maulid Isa (natal), yang kesemuanya adalah hari raya Kristen. Ibnul Turkmani dalam kitabnya al-Luma’ fil Hawadits wal Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia berkata,
Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.”
Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/ maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka.
Kemudia ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan al-Quran dan Sunnah melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyiin.
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M ) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz,  Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan: Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.” Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang menjadi panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri) dan ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.” (Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H.
Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara maulid maka para ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal maulid. Di antara mereka adalah al-Fakih al-Maliki Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami al-Iskandari yang dikenal dengan sebutan al-Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam risalah al-Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852), as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami (909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara maulid. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya:
 “Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya al-Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi saw adalah nikmat Allah yang besar.
Saya katakan:
Betul, mengingatkan nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi saw melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau idul milad atau mauludan.
Penutup
Pembaca yang mulia, setelah kita mengetahui asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi:
Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?” [*]
Malang, 23 Muharram 1430H/ 20-1-09
(Oleh Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag).
sumber : www.qiblati.com
Maraji :
  1. Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuhuh, Atsaruh)www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm,www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_mawleed.html
  2. Athiyah Shaqr, Fatawa al-Azhar (Maktabah Syaamilah 2)
  3. Jalaluddin as-Suyuthi, Husnul Maqshad fi Amalil Maulid, dalam kitab al-Hawi lilfatwa, Darul Fikr,1414,1/221-231.
  4. Samir ibn Khalil al-Maliki, Mukhtasar fi Hukmil A’yad al-Muhdatsah,www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_awal.html)
  5. http://www.alasr.ws/index.cfm?method=home.con&contentID=8819
  6. Shalih Suhaimi, al-Bida’ wa atsaruha fi inhiraf at-Tashawwur al-Islami,www.iu.edu.sa/Magazine/50-51/7.doc
Diambil dari bulletin Qiblati (Vol.1 No. 3 Th 1430 H Maret 2009)
- See more at: http://www.nahimunkar.com/sejarah-maulid-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-3/#sthash.FTZZxfxO.dpuf