Seputar Kitab Barzanji
Secara umum peringatan maulud Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam selalu disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji
maupun Daiba’, ada kalanya ditambah dengan senandung qasîdah Burdah.
Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan
orang awam daripada yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba’, Barzanji dan
Qasidah Burdah dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam yang diawali dengan membaca Daiba’, lalu Barzanji, kemudian
ditutup dengan Qasîdah Burdah.
Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab induk peringatan
maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian pembacanya lebih
tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca al-Qur’an. Maka tidak aneh jika
banyak di antara mereka yang lebih hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya
dibanding al-Quran.
Fokus pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji
ini adalah karena populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba’ lebih parah
daripada kitab Barzanji.
Berikut uraiannya :
Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi
tiga :
- Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sastra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan riwayat-riwayat lemah.
- Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
- Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi telah bercampur aduk dengan shalawat bid’ah dan shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis Kitab Barzanji
Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi
al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan
Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya
adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]
Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang
bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga,
keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam
doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi
bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.[2]
Kesalahan Umum Kitab Barzanji
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan
yang ada pada kitab Daiba` dan Qasîdah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi
parah ketika kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur’an. Bahkan,
dianggap lebih mulia dari pada Al Qur’an. Padahal, tidak ada nash syar’î yang
memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji, Daiba` atau Qasîdah
Burdah. Sementara, membaca al-Qur’an yang jelas pahalanya, kurang diperhatikan.
Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca Barzanji daripada membaca
al-Qur’an apalagi pada saat perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
: مَن قَرَأَ حَرفًا مِن كِتَابِ
اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاأَقُوْلُ الـمّ
حَرْفٌ وَلكِن ْأَلَِفٌ حَرْفٌ وَلاًّمُ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرفٌ. رَوَاهُ
التِّرْمِذِيْ وَصَحَّحَهُ اْلأَلْباَنِيْ
Artinya : Barang siapa membaca satu huruf dari
Al-Qur’an maka dia akan mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan
dilipatgandakan menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lâm Mîmssatu
huruf. Akan tetapi, Alifd satu huruf, lâmd satu huruf mîmd satu huruf.[3]
Kesalahan Khusus Kitab Barzanji
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab
Barzanji antara lain:
Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia mengungkapkan dengan sumpah.
وَقَدْ أَصْبَحَا وَاللهِ مِنْ أَهْلِ
اْلإِيْمَانِ وَجَاءَ لِهَذَا فِيْ الْحَدِيْثِ شَوَاهِدُ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ
وَمَالَ إِليْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ فَسَلِّمْ فَإِنَّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُــهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَشْعَرِيَ لَمُثْبِـتَ نَجَاتَهُمَا نَصًّا بِمُحْكَمِ تِبْــيَانِ
Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa
Jalla termasuk ahli iman dan telah datang dalîl dari hadîts sebagai
bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesungguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash tibyan (al-Qur’an).[4]
Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadîts
dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya:
“Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di manakah ayahku (setelah
mati)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia berada di Neraka.”
Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan
bersabda: “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di Neraka”.[5]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: ”Makna hadits ini
adalah bahwa barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di
Neraka dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang mati
pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah berhala, maka
ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian dakwah kepada mereka,
karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan yang
lainnya.”[6]
Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali
kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta
selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali
serta tidak ada satupun yang shâhih. Para ahli hadits sepakat akan kedhaifannya
seperti Dâruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khathîb, Ibnu Ashâkir, Ibnu
Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu
Sayyidin Nas.[7]
Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat
bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus
dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat
bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beriman dan selamat
dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hâfidz dan para ulama peneliti
hadîts.[8]
Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat membaca shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyâm (posisi berdiri), hal itu sangat nampak sekali di awal qiyâm (berdiri) membaca:
مَرْحَبًا يَا مَرْحَبًا يَا
مَرْحَبًا مَرْحَبًا ياَ جَدَّ الْحُسَيْنِ مَرْحَبًا
Selamat datang, selamat datang, selamat datang,
selamat datang wahai kakek Husain selamat datang.
Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan
kepada orang yang hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi
perbedaan, apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela
perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan bahwa
yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah ruhnya.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
berada di alam Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di
surga, sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian
mereka meyakini yang hadir adalah ruhnya.
يَا نَبِيْ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا
رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul
salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.
Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikih
Tradisionalis” berkilah, bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk
mengagungkan nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutnya, salah
satu cara mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk
menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang
hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara
bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada
waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya
dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain
adalah untuk menghormati bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang
bangsa. Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk
menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai
ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia teragung
yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?[9]
Ini adalah qiyâs yang sangat rancu dan rusak.
Bagaimana mungkin menghormati Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam disamakan
dengan hormat bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup
atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara seperti itu,
sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin kembali dan hadir ke
dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke
dunia merupakan keyakinan batil karena termasuk perkara ghaib yang tidak bisa
ditetapkan kecuali berdasarkan wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan
logika atau qiyas. Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara
bid’ah. Pengagungan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terwujud dengan cara
menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan mencintainya.
Melakukan amalan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran,
bukan merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian juga dengan acara perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.
Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para sahabat Radhiyallahu ‘anhum -semoga
Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas’ûd kepada kaum
Quraisy: “Wahai kaumku….demi Allah, aku pernah menjadi utusan kepada raja-raja
besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah menjadi utusan kepada Kisra
dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah melihat seorang raja yang diagungkan
oleh pengikutnya sebagaimana pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengagungkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan
seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah
dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera
melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka
saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata, mereka merendahkan
suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung kepadanya sebagai wujud
pengagungan mereka”.[10]
Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah
mengadakan acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan
tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.
Jika para pembela maulîd tersebut berdalih dengan
hadîts Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,’Berdirilah kalian untuk tuan atau
orang yang paling baik di antara kalian [11], maka alasan ini tidak tepat.
Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat
bahwa pada hadits di atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut
kedatangan orang yang mempunyai keutamaan[12]. Namun, tidak dilakukan kepada
orang yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan
perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar
Radhiyallahu ‘anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin Muadz
Radhiyallahu ‘anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah, bukan
untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya secara
berlebihan[13].
Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
فِيْكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ ياَ
بَشِيْرُ ياَ نَذِيـْـُر
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ
فَأَغِثْنِيْ وَأَجِـــن ياَ مُجِيْرُ مِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَا مِــلاَذِيْ فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُــوْرِ
Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi
kabar gembira wahai pemberi peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa’ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)
Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi
Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan syirik.
Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi
petunjuk dan manhaj dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan
menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada kematian, beliau bersabda: “Janganlah kamu berlebihan dalam
mengagungkanku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu
Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan
utusan-Nya”.[14]
Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi
Isa Alaihissalam sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan
mereka. Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza
wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Azza wa
Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada
umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan
berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah
kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul, bacalah salawat atasku, sesunggguhnya
salawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu berada”.[15]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
peringatan keras kepada umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan
mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang
yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
berkata: “Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang terbaik di
antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Katakanlah dengan perkataanmu atau
sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan menggelincirkanmu”.[16]
Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan yang
tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan
nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa hendaklah ia diam”.[17]
Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap
berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dalil
yang tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin
mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadits tersebut,
dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.
Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para pengagum kitab Barzanji menganggap bahwa membaca
shalawat kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan ibadah
yang sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. [al-Ahzâb/ 33:56]
Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk
membaca kitab tersebut pada setiap peringatan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam
agar mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat
tertentu seperti pada perayaan maulîd Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim
meninggalkan salawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan terhalang
dari melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan
akhirat, yaitu:
- Terkena doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku”.[18]
- Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang bakhîl adalah orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat atasku”[19].
- Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi n dan keluarganya. Nabi n bersabda: “Barangsiapa membaca salawat atasku sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali”.[20]
- Tidak
mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para Malaikat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:”Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” [Al-Ahzâb/ 33:43]
Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati,
karena membaca shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati
menjadi tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi
tenteram”. (Ar-Ra’du/ 13:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar
dan ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh
bid’ah dan khufarat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di
akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah Azza wa
Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun karena menyelisihi
sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada malam peringatan maulîd
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan
bid’ah dan penyimpangan terhadap Syariat.
Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:
وَماَ زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى
مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ أَرْدَانٍ
Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari
sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.
Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi,
seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia.
Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi
sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya
tersebut.
Demikian juga perkataan Ibnu Arabi Atthâ’i bahwa semua
Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari
cahaya kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu penutup para
Nabi”.[2]
Perlu kita ketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali
macamnya. Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak
hanya terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka
juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum
jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan mereka
seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam , seperti ; dia
adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas mereka. Bahkan mereka
mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan di bawah
kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa
tuhan-tuhan mereka itu mampu memberi syafaat dan menolong mereka.
Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab
Barzanji, semoga bermanfaat.[23]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun
XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan Oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ’ : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ’ : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah k memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.
_________
Footnotes
[1]. Al-Munjid fî al A’lâm, 125
[2]. Majmûatul Mawâlid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam’i hadits yang ke 6468
[4]. Lihat Majmûatul Mawâlid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhâj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma’bûd, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddîn Abdusshâmad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3043) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1768)
[12]. Lihat Minhâj Syarah Shahîh Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmâlil Mu’lim Bi Syarah Shahîh Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahîh diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (3445)
[15]. Shahîh diriwayatkan oleh Abu Dâwud dengan sanad yang shahîh (2042) dan dishahîhkan oleh Syaikh Albâni dalam Ghâyatul Marâm : 125
[16]. Shahîh, dishahîhkan Oleh Albâni dalam Ghâyatul Marâm 127, lihatlah takhrîj beliau di dalamnya.
[17]. Shahîh, diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dalam Shahîhnya (2679) dan Imam Muslim dalam Shahîhnya (1646)
[18]. Shahîh, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahîhkan oleh Albâni dalam irwâ’ : 6
[19]. Shahîh diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahîhkan Albâni dalam irwâ’ : 5
[20]. Shahîh diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîhnya (284).
[21]. Majmûatul Mawâlîd(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam buku ”Ritual Tradisional”. Semoga Allah k memudahkan penulisan buku ini yang memuat 40 bid’ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia yang meliputi, Shalawâtan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan, Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya’banan, Selamatan dan bid’ah-bid’ah lain.
Sumber : http://syabaabussunnah.wordpress.com
(nahimunkar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar